Iklan

Sejarah, Sikap Kemasyarakatan dan Pandangan NU terhadap Pancasila dan NKRI

6/05/2021, 08:37 WIB Last Updated 2021-06-05T01:39:37Z

Oleh: Ahmad Muntaha AM [1]

ِِA. SEJARAH

Memahami sejarah Nahdlatul Ulama (NU) sebagai jam’iyah diniyah (organisasi keagamaan) tidak cukup hanya dengan membaca formalitas kelahirannya pada 31 Januari 1926 di kampung Kertopaten Surabaya, bersamaan pembentukan Komite Hijaz yang akan dikirim ke Arab Saudi. Jauh sebelum itu, NU sudah ada dan berwujud dalam bentuk jama’ah(community) yang terikat oleh aktivitas keagamaan yang mempunyai karakteristik tertentu. Terkait hal ini Rais Akbar Nahdlatul Ulama, Hadratusy Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari menyatakan:

قَدْ كَانَ مُسْلِمُو الْأَقْطَارِ الْجَاوِيَّةِ فِي الزَّمَانِ الْخَالِيَةِ مُتَّفِقِي الْآرَاءِ وَالْمَذْهَبِ، وَمُتَّحِدِ الْمَأْخَذِ وَالْمَشْرَبِ. فَكُلُّهُمْ فِي الْفِقْهِ عَلىٰ الْمَذْهَبِ النَّفِيسِ مَذْهَبِ الْإِمَامِ مُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيسَ، وَفِي أُصُولِ الدِّينِ عَلىٰ الْمَذْهَبِ الْإِمَامِ أَبِي الْحَسَنِ الْأَشْعَرِيِّ، وَفِي التَّصَوُّفِ عَلىٰ الْمَذْهَبِ الْإِمَامِ الْغَزَالِيِّ وَالْإِمَامِ أَبِي الْحَسَنِ الشِاذِلِيّ.[2]

“Sungguh kaum muslimin tanah Jawa (Nusantara) pada masa lalu sepakat dalam pendapat dan madzhabnya; tunggal sumber rujukannya. Semuanya dalam fikih memedomani madzhab indah, madzhab al-Imam Muhamamd bin Idris asy-Syafi’i, dalam ushuluddin memdomani madzhab al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan dalam tasawuf memedomani madzhab al-Imam al-Ghazali dan al-Imam Abu al-Hasan asy-Syadzili.”

Dalam musyawarah pemberian nama organisasi ini, KH. Abdul Hamid dari Sidayu Gersik mengusulkan nama Nuhudlul Ulama dengan penjelasan para ulama mulai bersiap-siap bangkit melalui perwadahan formal tersebut. Namun pendapat ini mendapat sanggahan dari KH. Mas Alwi bin Abdul Aziz. Menurut beliau, kebangkitan ulama bukan sedang akan dimulai, namun sebenarnya sudah bergerak jauh sebelum adanya tanda-tanda akan terbentuknya Komite Hijaz, namun kebangkitan dan pergerakan ulama kala itu memang belum terorganisir secara rapi. Sebab itu, KH. Mas Alwi mengusulkan nama Nahdhatul Ulama yang lebih condong pada makna gerakan serentak ulama dalam suatu pengarahan, atau gerakan bersama-sama yang terorganisir.[3]

Dari sini bisa dipahami bahwa pendirian NU tiada lain merupakan pengorganisasian, peningkatan dan pengembangan peran ulama pesantren yang sudah ada. Dengan kata lain, didirikannya NU agar menjadi wadah bagi usaha menyatukan langkah ulama pesantren dalam rangka pengabdian yang tidak terbatas pada persoalan keagamaan saja–meskipun ini merupakan tujuan utamanya–, namun juga merambah pada masalah-masalah sosial, ekononomi, dan persoalan kemasyarakatan pada umumnya. Hal ini terlihat secara jelas dalam Statuen Perkoempoelan Nahdlotoel ‘Oelama, Fatsal 2 dan 3:

“Fatsal 2:
Adapoen maksoed perkoempulan ini jaoetu: “Memegang tegoeh pada salah satoe dari madzhabnya Imam ampat, jaitoe Imam Moehammad bin Idris Asj-Sjafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Aboehanifah An-Noe’man, atau Imam Ahmad bin Hambal, dan mengerdjakan apa sadja jang mendjadikan kemaslahatan Agama Islam.”

Fatsal 2:
Oentoek mentjapai maksoed perkoempoelan ini maka diadakan ichtiar:
1. Mengadakan perhoeboengan di antara ‘Oelama-‘Oelama jang bermadzhab tersebut dalam fatsal 2.
2. Memeriksai kitab-kitab sebeloemnja dipakai oentoek mengadjar, soepaja di ketahoei apakah kitab itoe dari pada kitab-kitabnja Ahli Soennah Wal Djama’ah atau kitab-kitabnja Ahli Bid’ah.
3. Menjiarkan Agama Islam di atas madzhab sebagai tersebut dalam fatsal 2, dengan djalanan apa sadja jang baik.
4. Berichtiar memperbanjakkan Madrasah-Madrasah jang berdasar Agama Islam.
5. Memperhatikan hal-hal jang berhoeboengan dengan masdjid2, langgar2, dan pondok2, begitoe djuga dengan hal ahwalnja anak-anak jatim dan orang-orang jang fakir miskin.
6. Mendirikan badan-badan oentoek memadjoekan oeroesan pertanian, perniagaan, dan peroesahaan, jang tiada dilarang oleh sjara` Agama Islam.”[4]

Selain itu, berdirinya NU tidak bisa dilepaskan dari tujuan membangun semangat nasionalisme bangsa yang sedang terjajah. Selain tercermin dalam keterlibatan KH. Abdul Wahab Hasbullah dalam Syarikat Islam, Indonesische Studie Club, Nahdlatul Wathan, Taswir al-Afkar, dan berbagai organisasi lainnya, hal ini sekali lagi ditegaskan oleh beliau sehari sebelum lahirnya NU. Setelah undangan pertemuan ulama untuk membicarakan Komite Hijaz pada 31 Januari 1926 selesai diedarkan, Kiai Abdul Halim bertanya kepada Kiai Wahab, apakah rencana pembentukan organisasi ulama itu mengandung tujuan untuk menuntut kemerdekaan? Kiai Wahab menjawab dengan penuh isyarat: “Tentu, itu syarat nomor satu. Umat Islam menuju ke jalan itu. Umat Islam tidak leluasa sebelum Negara kita merdeka.”[5]

Kiai Abdul Halim ragu dengan tujuan tersebut, sebab pembentukan perkumpulan ulama saja baru pada tahap pengiriman undangan. Ia bertanya: “Apakah usaha semacam ini bisa menuntut kemerdekaan?” Kiai Wahab langsung menyalakan api rokoknya sambil berkata: “Ini bisa menghancurkan bangunan perang. Kita jangan putus asa. Kita harus yakin tercapai negeri merdeka.”[6]

Dengan demikian, lahirnya NU juga didorong oleh semangat membangun nasionalisme. Membangun nasionalisme pada waktu itu sama halnya dengan membela tanah air, membela tuntutan rakyat untuk merdeka.[7]

B. SIKAP KEMASYARAKATAN NU

Sikap kemasyarakatan NU telah dirumuskan dalam Muktamar NU ke-27 di Situbondo, No. 02/MNU-27/1984 tentang Khitthah NU. Namun, untuk memahaminya perlu dipahami terlebih dahulu Dasar-Dasar Faham Keagamaan NU, yaitu:[8]

1. Nahdlatul Ulama mendasarkan faham keagamaan kepada sumber ajaran agama Islam: al-Qur`an, as-Sunnah,al-Ijma’,dan al-Qiyas.
2. Dalam memahami, menafsirkan Islam dari sumber-sumbernya di atas, Nahdlatul Ulama mengikuti faham Ahlussunnah wal Jama’ah dan menggunakan jalan pendekatan (al-Madzhab): a) di bidang aqidah, Nahdlatul Ulama mengikuti Ahlussunnah wal Jama’ah yang dipelopori oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi; b) di bidang fiqh, Nahdlatul Ulama mengikuti jalan pendekatan (al-madzhab) salah satu dari madzhab Abu Hanifah an-Nu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I, dan Imam Ahmad bin Hanbal; dan c) di bidang tasawuf, mengikuti antara lain Imam al-Junaid al-Baghdadi, dan Imam al-Ghazali serta imam-imam yang lain.

Nahdlatul Ulama mengikuti pendirian, bahwa Islam adalah agama yang fitri, yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki manusia. Faham keagamaan yang dianut oleh Nahdlatul Ulama bersifat menyempurnakan nilai-nilai yang baik yang sudah ada dan menjadi milik serta ciri-ciri suatu kelompok manusia, seperti suku maupun bangsa, dan tidak bertujuan menghapus nilai-nilai tersebut.

Dasar-dasar pendirian keagamaan NU ini menumbuhkan sikap kemasyarakatan NU yang bercirikan:[9]
1. Sikap Tawassuthdan I’tidal
Sikap tengah yang berintikan pada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah kehidupan bersama. Nahdlatul Ulama dengan sikap dasar ini akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrim).
2. Sikap Tasamuh
Sikap toleran terhadap perbedaan pandangan baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi masalah khilafiyah, serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.
3. Sikap Tawazun
Sikap seimbang dalam berkhidmah. Menyerasikan khidmah kepada Allah SWT, khidmah kepada sesama manusia serta kepada lingkungan hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini, dan masa mendatang.
4. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan baik, berguna, dan bermanfaat bagi kehidupan bersama; serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.

Dalam tataran praktisnya dasar-dasar keagamaan dan sikap kemasyarakatan itu membentuk perilaku warga Nahdlatul Ulama, baik dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi yang:[10]

1. Menjunjung tinggi nilai-nilai maupun norma-norma ajaran Islam.
2. Mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi.
3. Menjunjung tinggi sifat keikhlasan dan berkhidmah serta berjuang.
4. Menjunjung tinggi persaudaraan (al-ukhuwwah), persatuan (al-ittihad), serta kasih mengasihi.
5. Meluhurkan kemuliaan moral (al-akhlaq al-karimah), dan menjunjung tinggi kejujuran dalam berfikir, bersikap, dan bertindak.
6. Menjunjung tinggi kesetiaan (loyalitas) kepada bangsa dan negara.
7. Menjunjung tinggi nilai amal, kerja dan prestasi sebagai bagian dari ibadah kepada Allah Swt.
8. Menjunjung tinggi ilmu-ilmu pengetahuan serta ahli-ahlinya.
9. Selalu siap untuk menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang membawa kemaslahatan bagi manusia.
10. Menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha mendorong, memacu, dan mempercepat perkembangan masyarakatnya.
11. Menjunjung tinggi kebersamaan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.

C. PANCASILA DALAM PERSPEKTIF NU

Mempertentangkan Pancasila dan Islam memang terasa lebih mudah daripada memahami keduanya secara proporsional. Namun demikian, NU telah menegaskan pandangannya yang jelas dan jernih, yang tercantum dalam Deklarasi Hubungan Pancasila dan Islam, sebagai hasil keputusan Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama tahun 1983 di Situbondo, sebagai berikut:[11]
1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia adalah prinsip fundamental namun bukan agama, tidak dapat menggantikan agama, dan tidak dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara menurut pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang menjiwai sila-sila yang lain mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
3. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah aqidah dan syari’ah meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.
4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan kewajiban agamanya.
5. Sebagai konsekuensi dari sikap tersebut di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.

Merujuk pernyataan KH. Achmad Siddiq, Peletak Dasar Khitthah NU:[12] “Nahdlatul Ulama menerima Pancasila menurut bunyi dan makna yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 (bil lafdhi wal ma’nal murad), dengan rasa tanggung jawab dan tawakkal kepada Allah.”[13]

D. NKRI DALAM PERSPEKTIF NU

Demokrasi di era reformasi telah membuka seluas-luasnya pintu kebebasan. Bahkan kebebesan yang menjurus pada tindakan makar terhadap negara pun leluasa bergerak.[14] Namun bagi NU, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) merupakan upaya final dari perjuangan seluruh penduduk Indonesia–termasuk umat Islam di dalamnya– dalam mendirikan negara.[15] NKRI adalah negara yang sah menurut hukum Islam, yang menjadi wadah berkiprah melaksanakan dakwah yang akomodatif dan selektif, serta bertaqwa sesempurna mungkin, tidak usah mencari atau membuat negara yang baru.[16] Bahkan merujuk Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, mempertahankan dan menegakkan NKRI menurut hukum Agama Islam adalah wajib, termasuk sebagai satu kewajiban bagi tiap-tiap muslim, dan jihad fi sabilillah.[17] Karena itu, NU mempunyai tanggung jawab terhadap kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, baik dahulu, sekarang, maupun masa mendatang.

Terkait tanggung jawab tersebut, melalui Muktamar ke-29 di Cipasung Tasikmalaya pada 1 Rajab 1415 H/ 4 Desember 1994 M, NU mengeluarkan Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama No. 02/MNU-29/1994 tentang Pengesahan Hasil Sidang Komisi Ahkam/Masail Diniyah, yang di antaranya terkait dengan Pandangan dan Tanggung Jawab NU Terhadap Kehidupan Kebangsaan dan Kenegaraan, yang mana di antara isinya adalah sebagaimana berikut:[18]

“IV. WAWASAN KEBANGSAAN DAN KENEGARAAN DALAM PANDANGAN NAHDLATUL ULAMA
1. Nahdlatul Ulama menyadari bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara -di mana sekelompok orang yang oleh karena berada di wilayah geografis tertentu dan memiliki kesamaan, kemudian mengikatkan diri dalam satu sistem dan tatanan kehidupan merupakan “realitas kehidupan” yang diyakini merupakan bagian dari kecenderungan dan kebutuhan yang fitri dan manusiawi. Kehidupan berbangsa dan bernegara adalah perwujudan universalitas Islam yang akan menjadi sarana bagi upaya memakmurkan bumi Allah dan melaksanakan amanatNya sejalan dengan tabiat atau budaya yang dimiliki bangsa dan wilayah itu.
2. Kehidupan berbangsa dan bernegara seyogyanya merupakan langkah menuju pengembangan tanggung jawab kekhilafahan yang lebih besar, yang menyangkut “kehidupan bersama” seluruh manusia dalam rangka melaksanakan amanat Allah, mengupayakan keadilan dan kesejahteraan manusia, lahir dan batin, di dunia dan di akhirat.
3. Dalam kaitan itu, kehidupan berbangsa dan bernegara haruslah dibangun atas dasar prinsip ketuhanan, kedaulatan, keadilan, persamaan dan musyawarah. Dengan demikian maka pemerintah (umara’) dan ulama -sebagai pengemban amanat kekhilafahan- serta rakyat adalah satu kesatuan yang secara bersama-sama bertanggung jawab dalam mewujudkan tata kehidupan bersama atas dasar prinsip-prinsip tersebut.
4. Umara’ dan ulama dalam konteks di atas, merupakan pengemban tugas khilafah dalam arti menjadi pengemban amanat Allah dalam memelihara dan melaksanakan amanatNya dan dalam membimbing masyarakat sebagai upaya memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan hidup yang hakiki. Dalam kedudukan seperti itu, pemerintah dan ulama merupakan ulil amri yang harus ditaati dan diikuti oleh segenap warga masyarakat. Sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang Demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. al-Nisa’: 59) …

VII. TANGGUNG JAWAB NAHDLATUL ULAMA TERHADAP KEHIDUPAN BERBANGSA DI MASA MENDATANG
1. Umat Islam Indonesia dan Nahdlatul Ulama, sejak semula memandang Indonesia sebagai “kawasan amal dan dakwah”. Indonesia adalah bagian dari bumi Allah, dan (karenanya) merupakan lahan dari ajaran Islam yang universal itu (Kaffatan linnas dan Rahmatan lil ‘alamin).
2. Indonesia dalam berbagai kondisinya, adalah rahmat yang sangat besar dari Allah Swt., yang wajib disyukuri seluhur-luhurnya, dengan melestarikannya, mengembangkannya dan membangunnya sepanjang zaman. Segala kekurangan dan kelemahannya diperbaiki, dan segala kebaikannya ditingkatkan dan disempurnakan untuk mencapai “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur”, negara adil dan makmur di bawah maghfirah (ampunan) Allah Swt.
3. Dalam menyongsong masa depan, Nahdlatul Ulama bertekad untuk selalu berperan besar dalam meningkatkan kualitas umat, baik secara perorangan maupun secara kelompok. Dengan itulah umat Islam mampu memenuhi peran dan tanggung jawab sebagai mayoritas bangsa, sebagai khalifah Allah di bumi dan sekaligus sebagai hamba yang harus selalu mengabdi dan beribadah kepadaNya. Untuk itu, tugas Nahdlatul
4. Ulama pada masa kini dan masa mendatang adalah: a) Sebagai “kekuatan pembimbing spiritual dan moral umat dan bangsa ini”, dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara -politik, ekonomi, sosial, budaya dan iptek- untuk mencapai kehidupan yang maslahat, sejahtera dan bahagia, lahir dan batin, dunia dan akhirat. b) Berusaha akan dan terus secara konsisten menjadi “Jam’iyah diniyah/ organisasi keagamaan” yang bertujuan untuk ikut membangun dan mengembangkan insan dan masyarakat Indonesia yang bertakwa kepada Allah Swt., cerdas, terampil, adil, berakhlak mulia, tenteram dan sejahtera. c) Berperan aktif memeperjuangkan pemerataan sarana perikehidupan yang lebih sempurna demi mewujudkan keadilan sosial yang diridhai Allah Swt. d) Menjadikan warga Nahdlatul Ulama dan seluruh warga bangsa Indonesia sebagai warga negara yang senantiasa menyadari tanggung jawabnya dalam membangun Indonesia secara utuh, menegakkan keadilan dan kebenaran, memelihara kemanusiaan dan kejujuran serta melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. e) Menjadikan Indonesia sebagai negara yang merdeka, berdaulat, mandiri, terbebas dari penjajahan dan penganiayaan oleh siapapun dalam bentuk apapun, sehingga nilai kebenaran, keadilan dan kemanusiaan, serta ajaran Islam yang lain, dapat dimasyarakatkan dan disatukan dengan dan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Indonesia adalah wilayah atau bagian dari bumi Allah, yang menjadi tempat kaum muslimin menghambakan dirinya kepada Allah Swt., dengan penuh ketenangan dan keleluasaan, dalam seluruh aspek kehidupan.”

Demikian sekilas pengetahuan tentang sejarah NU, sikap kemasyarakatan dan pandangannya terhadap Pancasila dan NKRI. Diharap dengannya kaum muslimin secara luas dapat memperkokoh niat untuk masuk dan berkhidmah di dalamnya, sebagai implementasi praktis dari khidmat terhadap agama, bangsa dan negara.

Semoga Ahli Nahdlah semakin yakin, Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyah yang penuh berkah akan mengantarkannya untuk meraih kesuksesan dunia dan akhirat, sebagaimana seruan as-Sayyid Ahmad bin Abdullah as-Saqaf–rahimahullah–yang termaktub dalam Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyah Nahdlatul Ulama:

إِنَّهَا الرَّابِطَةِ قَدْ سَطَعَتْ بَشَائِرُهَا، وَاجْتَمَعَتْ دَوَائِرُهَا وَاسْتَقَمَتْ عَمَائِرُهَا. فَأَيْنَ تَذْهَبُونَ عَنْهَا، أَيُّهَا الْمُعْرِضُونَ؟ كُونُوا مَعَ السَّابِقِينَ، أَوْ لَا، فَمِنَ اللَّاحِقِينَ. وَإِيَّاكُم مِّنَ الْخَالِفِينَ، فَيُنَادِيكُمْ لِسَانُ التَّقْرِيعِ بِقَوَارِعِ: رَضُوا بِأَنْ يَكُونُوا مَعَ الْخَوَالِفِ وَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَفْقَهُونَ [التوبة 87] …[19]

“Sungguh Nahdlatul Ulama adalah perhimpunan yang telah menampakkan tanda-tanda menggembirakan, daerah-daerahnya menyatu, bangunan-bangunannya telah berdiri tegak. Maka kemana kamu akan pergi darinya, wahai orang yang berpaling? Jadilah kalian bersama generasi awalnya. Bila tidak, maka jadilah generasi yang menyusulnya. Jangan sampai kalian menjadi golongan yang tertinggal (tidak memasukinya), sehingga suara penggoncang akan menggoncang-goncangkan dengan perkataan: “Kaum munafik rela tinggal (tidak berjihad) bersama perempuan-perempuan yang tinggal di rumah, dan hati mereka dibutakan, maka mereka tidak memahami kebaikan.”


[1] Wakil Sekretaris PW LBM NU Jawa Timur dan Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur. Artikel juga pernah dimuat di website: aswajamuda.com 
[2] Muhammad Hasyim Asy’ari, Risalah Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah (Jombang: Maktabah at-Turats al-Islami, 1418 H), Cet. I, 9.
[3] Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU (Ttp.: PT. Duta Aksara Mulia, 2010), cet. III, 3-4.
[4] Statuen Perkoempoelan Nahdlotoel ‘Oelama, (1926: pasal 2 dan 3).
[5] Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 36-37.
[6] Ibid., 37.
[7] Ibid.
[8] Abdul Muchith Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran; Refleksi 65 Th. Ikut NU (Surabaya: Khalista, 2007), cet. IV, 25-26.
[9] Ibid., 26-27.
[10] Ibid., 27.
[11] LTN PBNU, Ahkamul Fuqoha, Solusi Problematika Hukum Islam; Keputusan Muktamar Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (Surabaya: Khalista, 2011), cet. I, 757.
[12] Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi NU; Sejarah, Istilah, Amaliah Uswah (Surabaya: Khalista, 2010), cet. III, I/176.
[13] Choirul Anam, Pemikiran K.H. Achmad Siddiq tentang: Aqidah, Syari’ah dan Tasawuf, Khitthah NU 1926, Hubungan Agama dan Pancasila, Negara Kesatuan RI Bentuk Final, Watak Sosial Ahlussunnah, Seni dan Agama (Jakarta: PT. Duta Aksara Mulia, 2010), cet. II, 71.
[14] An-Nadwah al-‘Alamiyah li asy-Syabab al-Islami, al-Mausu’ah al-Muyassarah fi al-Ayan wa al-Madzahib, wa al-Ahzab al-Mu’ashirah (ttp.: Dar an-Nadwah al-‘Alamiyah, tth.), bab al-Harakah wa al-Jama’ah al-Islamiyah. CD al-Maktabah asy-Syamilah, al-Ishdar ats-Tsani, vol. 2.11.
[15] Anam, Pemikiran K.H. Achmad Siddiq, IX .
[16] Ibid., 83-83.
[17] Arif Hanafi A.H., Narasi Resolusi Jihad, 7-9.
[18] LTN PBNU, Ahkamul Fuqoha, 746-758.
[19] Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran, 11, dan Muhammad Hasyim Asy’ari, at-Tibyan fi an-Nahyi ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan (Jombang: Maktabah at-Turats al-Islami, 1418 H), 26.
Komentar

Terkini