Iklan

Maaf Memaafkan Dalam Hari Raya Idul Fitri

5/04/2022, 08:51 WIB Last Updated 2022-05-04T02:05:41Z



Oleh : KH. DR. Abdul Ghofur Maimoen MA

Salah satu sikap yang sangat terpuji dan amat dibutuhkan oleh samua kita adalah gampang memaafkan. Ia juga adalah cermin kepribadian diri, bahwa kita terbiasa melihat hal-hal positif dari orang lain dan mudah melupakan kesalahannya; menyukai kedamaian; tidak menyukai balas dendam; tidak merasa bersih-suci dari kesalahan; dan piawai mengelola emosi. Sebelum berhubungan dengan orang lain, memaafkan sejatinya berkaitan erat dengan diri sendiri. Gampang memaafkan identik dengan kedamaian hidup, terhindar dari stress, fokus melihat hal-hal positif dalam kehidupan, kedewasaan serta kematangan pribadi, dan tentu saja keinginan mendapatkan ampunan dari Allah, Sang Pemilik Segalanya.


Berbagai cerita tentang memaafkan tersebar dalam literatur kita. Beberapa di antaranya sebagai berikut:

Ibn Mas’ud ra. meriwayatkan, “Sepertinya saya melihat Baginda Nabi Muhammad Saw. saat beliau bercerita tentang seorang nabi yang dipukuli kaumnya hingga berdarah. Ia mengusap darah dari wajahnya dan berkata, “Wahai Tuhanku, ampunilah kaumku. Mereka sungguh tidak tahu.”[1] Sebagian syarah menjelaskan bahwa Nabi Muhammad Saw. sedang menceritakan dirinya sendiri.[2]

Anas bercerita, Saya kala itu sedang berjalan bersama Rasulullah Saw. Beliau mengenakan “burdu” (kain bergaris yang diselimutkan di badan) made in Najran yang kasar pinggirnya. Tetiba, seorang badui (a’rābiyy) menyusulnya dan menarik dengan keras burdu tersebut hingga saya melihat bekasnya di leher beliau. “Wahai Muhammad, berilah diriku sebagian dari harta Allah yang ada padamu!” kata Si Badui. Rasulullah menengok kepadanya dan tertawa. Beliau lalu memerintahkan untuk memberinya.[3]

Abdullah bin Mas’ud sedang duduk di pasar membeli sesuatu. Ia hendak mengambil dirham yang ia simpan di serban. Akan tetapi, ikatan di serban itu telah terlepas. “Saat saya suduk, (dirham) itu masih bersamaku,” kata beliau. Orang-orang menyumpahi dia (si pencuri). “Semoga Allah memotong tangan si pencuri!” kata mereka. Tapi Abdullah bin Mas’ud justru berdoa lain, “Duhai Allah, jika ia mencuri karena didorong oleh kebutuhannya maka berkahilah dia atas hajatnya ini, dan jika ia melakukan itu karena keberaniannya melakukan dosa maka semoga itu adalah akhir dari dosa-dosanya.”[4]

Ali Zainal Abidin bin Husain (w. 95 H.). berjalan menuju masjid. Di tengah jalan, seorang lelaki memakinya. Para pembantunya bergegas hendak memukulinya, akan tetapi beliau menahan mereka dan berkata, “Tahan diri kamu semua dari (menyakiti) dia!” Lalu, beliau menengok kepada laki-laki tersebut dan berkata, “Wahai kamu, (keburukan) saya lebih dari dari apa yang kamu katakan. Apa yang tak kamu ketahui tentang (keburukan) diriku lebih banyak dari apa yang kamu ketahui. Jika kamu menginginkannya, saya akan menceritakannya kepadamu.” Atas kemuliaan budi pekertinya ini, lekaki itu merasa sangat malu. Lalu, Zainal Abidin memerintahkan untuk memberinya seribu dirham. Sambil berlalu, lelaki itu pun berkata, “Saya bersaksi bahwa pemuda ini adalah anak (keturunan) Rasulullah Saw.[5]

Sa’īd bin Masrūq menuturkan, Ar Rabī’ bin Khuṡaim (w. sebelum tahun 65 H.) kepalanya terluka karena tertimpa batu. Ia mengusap darah dari mukanya dan berkata, “Duhai Allah, ampuni dia. Dia tak sengaja.”[6]

Imam Al Hakim meriwayatkan dari Anas bin Malik (dengan sanad yang dhaif), ia mengatakan, Saat itu Rasulullah Saw. sedang duduk, tiba-tiba beliau tertawa hingga kelihatan gigi serinya. “Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, apa yang membuat engkau tertawa, wahai Rasulullah?” tanya Umar. Nabi Saw. menjawab, Dua lelaki dari umatku berlutut di depan Tuhan Yang Mahaagung. Yang satu menuntut kepada yang lainnya. Si mazlum meminta haknya atas kazaliman yang telah dilakukan terhadap dirinya. Kata Allah kepada si zalim, “Berikanlah hak kezaliman kepada saudaramu!” Ia menjawab, “Wahai Tuhanku, tidak ada sedikitpun kebaikanku yang tersisa untuk saya berikan kepadanya ..” Maka, Allah berkata kepada si penuntut, “Apa yang akan kamu lakukan dengan saudaramu, sementara kebaikannya tak sedikitpun yang tersisa?” Ia menjawab, “Wahai Tuhanku, jika demikian maka biarkan dia memanggul sebagian dosa-dosaku!”.

Rasululllah Saw. pun menangis atas peristiwa ini. Namun, Allah kemudian berkata kepada si zalim, “Tegakkan penglihatanmu baik-baik. Lihatlah ke dalam sorga!” Ia pun menegakkan penglihatannya. “Wahai Tuhanku, saya melihat kota-kota dari perak dan istana-istana dari emas. Semuanya terselimuti oleh mutiara. Untuk siapakah itu semua? Nabi mana, siddiq mana, dan syahid mana yang berhak atasnya?” Allah SWT. berkata, “Ia milik orang yang memberikan harganya!” “Wahai Tuhanku, siapa yang memiliki harganya itu?” Allah SWT. menjawab, “Kamu memilikinya!” “Dengan apa?” tanya dia. “Dengan memberi ampunan kepada saudaramu!” jawab Allah SWT. “Wahai Tuhanku, sungguh saya telah mengampuninya!” kata dia. Allah pun berkata, “Pegang tangan saudaramu dan masukkan dia ke dalam sorga!”.[7]

Hadis ini, meski dhaif, masyhur dikutip oleh para ulama. Sepertinya mereka—dan tentu saja kita semua—sangat berharap agar peristiwa seperti ini terjadi kelak sebagai cara agar banyak orang baik yang kesulitan mendapatkan permaafan dapat masuk surga. Tentu saja tidak ada maksud sedikitpun menganggap enteng hak-hak adami. Wallāhu a’lam.




[1] Al Imām Al Bukhāriyy, Al Jāmi’ Aṣ Ṣaḥīḥ, jilid 4, hal. 175; Al Imām Muslim, Al Musnad Aṣ Ṣaḥīḥ, jilid 3, hal. 1417.
[2] Badr ad Dīn al ‘Ayniyy, ‘Umdah Al Qārī Syarḥ Aṣ Ṣaḥīḥ Al Bukhāriyy, jilid 24, hal. 84; Syihāb ad Dīn Al Qasṭalāniyy, Irsyād as Sārī, jilid 10, hal. 83—84.
[3] Al Imām Al Bukhāriyy, Al Jāmi’ Aṣ Ṣaḥīḥ, jilid 4, hal. 94; Al Imām Muslim, Al Musnad Aṣ Ṣaḥīḥ, jilid 2, hal. 730.
[4] Al Imām Al Ġazāliyy, Iḥyā` Ulūm ad Dīn, jilid 3, hal. 184.
[5] Al Imām Al Ġazāliyy, At Tibr al Masbūk fī Naṣīḥat al Mulūk, hal. 25.
[6] Al Imām Al Bayhaqiyy, Syu’ab al Īmān, jilid 10, hal. 425.
[7] Al Imām Al Ḥākim, Al Mustadrak ‘alā aṣ Ṣaḥīḥayn, jilid 4, hal. 620; Al Imām Al Būṣīrī, Itḥāf al Khīrah al Maharah, jilid 8, hal. 203; Al Imām Al Bayhaqiyy, Al Ba’ṡ wa an Nusyūr, hal. 298.

Komentar

Terkini