Iklan

Mengawal Syariah Tanpa Berkhilafah : Sebuah Fakta Perjuangan NU (Bag 1)

8/26/2020, 00:57 WIB Last Updated 2020-08-25T17:57:31Z
(Foto harlah NU dari bangkitmedia.com)

Oleh Abdul Aziz Idris Abdan

Sedari awal terbentuknya NU memang lebih fokus kepada urusan, hidmah keagamaan, pembentukan komisi hijaz sebagai embrio kemunculan NU lebih untuk menjaga prinsip dan khazanah Islam dari penetrasi oleh Islam puritan, namun perkembangan zaman menuntun untuk meluaskan bukan hanya pemikiran namun sikap terkait dengan keberadaan umat Islam saat itu yang masih dibawah belenggu penjajahan Belanda. Dinamika ini bisa terlihat dari setiap muktamar dan keputusan keputusannya, forum ini menjadi forum puncak untuk media yang membahas dan mendiskusikan masalah-masalah keagamaan, kemasyarakatan, sosial, pendidikan, politik dan sebagainya. Dalam setiap muktamar selalu ada sikap yang jelas dan keberpihakan yang nyata bagi prinsip Syariah meskipun masyarakat di bawah tekanan penjajah, fakta itu bisa di lihat sebagai berikut; 

Muktamar ke-II yang diselenggarakan pada 9-11 oktober 1927 di Surabaya yang dihadiri 146 Ulama dan 242 peserta lain dengan latar belakang petani, pengusaha, buruh hadir. Salah satu keputusan yang ketok palu adalah mengajukan tuntunan kepada pemerintah kolonial untuk melakukan pengawasan terhadap perkawinan di bawah umur, dan orang-orang ( pegawai ) yang diangkat sebagai penghulu ( juru nikah ) hendaknya telah mendapat persetujuan para Ulama. 

Muktamar ke-X di Surakarta tahun 1935, NU telah mencatat jumlah anggotanya yang mencapai 67.000 orang dari seluruh cabang yang ada. Pada muktamar ini untuk pertama kalinya secara resmi dan terang-terangan mengajukan sikap penentangan terhadap beberapa kebijakan pemerintah kolonial. Berakibat NU selalu di waspadai oleh pemerintah kolonial. 

Beberapa kebijakan pemerintah kolonial disikapi dengan tegas oleh NU, sehingga NU menjadi salah satu organisasi yang secara terbuka melakukan perlawanan kultural dengan melontarkan kritikan dan sikap tidak sependapat. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang mendapatkan sorotan dan kritikan NU di antaranya kebijakan Ordonantie Guru. Isi dari kebijakan ini adalah kewajiban bagi setiap guru agama Islam sebelum menjalankan profesinya untuk meminta an mendapatkan izin terlebih dahulu kepada instansi pemerintah. Kebijakan bidang pendidikan ini sebenarnya telah diberlakukan tahun 1905 dan 1925. 

Kebijakan ini secara tidak langsung untuk membatasi peran para guru dalam menanamkan sikap perlawanan kepada pemerintah kolonial. Kebijakan Ordonantie Guru pertama di berlakukan tahun 1905, pada tahun 1925 diberlakukan untuk yang kedua kalinya dengan kewajiban para guru untuk melaporkan diri terkait dengan pekerjaannya. Semula ketentuan ini hanya berlaku terhadap sekolah - sekolah di bawah pemerintah kolonial. Namun selanjutnya pada tahun 1932 aturan ini diperluas serta diberlakukan kepada sekolah-sekolah swasta seperti madrasah dan pesantren, termasuk berlaku bagi juru penerang agama diluar pegawai pemerintah seperti para dai, mubaligh. 

Sikap NU secara resmi disuarakan dan ditunjukkan ketika diselenggarakan muktamar tahun 1935 di Surakarta, secara tegas menentang dan memperjuangkan agar ordonansi yang mengekang dan membatasi ini dicabut. Bahkan NU membentuk sebuah badan khusus guna mengurusi dan menangani masalah ini.

Bersambung....
Komentar

Terkini